Koreksi Beberapa Kesalahan di Bulan Ramadhan

Tinggalkan komentar

Ustadz Shobaruddin bin Muhammad Arif

PERTANYAAN

Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan pahala serta ridha-Nya, maka tentunya sebagaimana yang kami ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah tersebut. Sehubungan dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar ibadah (khususnya puasa) pada bulan tersebut lepas dari kesalahan, maka kami memohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan yang ada dan dilakukan orang di bulan Ramadhan ini. Terima kasih.

JAWABAN

Orang sering menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syariat Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu, kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasihat dan bekal menyambut bulan Ramadhan. Berikut beberapa kesalahan tersebut.

1. Menentukan Masuknya Bulan Ramadhan dengan Menggunakan Ilmu Falaq atau Ilmu Hisab

Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan,

“Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa.” [ Al-Baqarah: 185 ]

Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary -Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا

“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah.”

Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.

Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab, “Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka.” Lihat Subulus Salam 2/242.

Berkata pula Ibnu Bazîzah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan, “Ini adalah madzhab yang bathil. Syariat telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas.” Lihat Subulus Salam 2/242.

Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/243, “Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari)..”

2. Kebiasaan Berpuasa Sehari atau Dua Hari Sebelum Ramadhan dengan Maksud Ihtiyath (Berjaga-Jaga)

Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnah maka hendaknyalah ia berpuasa.”

Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/239, “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga).”

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160), “… karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan- ….”

Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 ( Tuhfatul Ahwadzy ), “ Para ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan ….”

Berkata Imam An-Nawawy, “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah.” Lihat Syarh Shahîh Muslim 7/158.

Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath. Adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.

3. Meninggalkan Makan Sahur

Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan serta menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan kesepakatan para ulama tentang disunnahkannya makan sahur.

Kesepakatan para ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat Syarh Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.

Dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali, di antaranya hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah.”

Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupun perkara-perkara akhirat, dan berkah tersebut bermacam-macam, di antaranya:

  • Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
  • Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab, sebagaimana dalam Shahîh Muslim , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur.”

  • Menambah kekuatan dan semangat, khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
  • Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdoa dan meminta rahmat, sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat doa yang makbul.
  • Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.

Lihat Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.

4. Mempercepat Makan Sahur

Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa selang waktu antara selesainya beliau makan sahur dengan permulaan shalat subuh adalah (selama bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim,

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ

“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata, Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ?’ Ia (Zaid bin Tsabit) menjawab, Lima puluh ayat. .”

Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shahîh Muslim (7/169), “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur.”

Lihat Ihkamul Ahkam 3/334 karya Ibnu Daqiqil ‘Ied, Al-I’lam 5/192-193 karya Ibnul Mulaqqin dan Fathul Bary 4/128 karya Ibnu Hajar.

5. Menjadikan Imsak Sebagai Batasan Sahur

Sering kita mendengar tanda-tanda imsak, seperti suara sirine, ayam berkokok, beduk, yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. [ Al-Baqarah: 187 ]

Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ

“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”

Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama dan adzan kedua. Pada adzan pertama, seseorang masih boleh makan sahur dan batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.

Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata hatta (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna ghayah, yakni akhir batasan waktu.

6. Melafadzkan Niat Puasa

Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru) yang sesat dalam agama dan tidak disyariatkan karena beberapa hal:

  • Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.
  • Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati.
  • Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalam hati.
  • Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya tuntunan agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.
  • Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata, “ Saya berniat meletakkan tanganku ini ke dalam bejana, lalu saya mengambil makanan, kemudian saya telan dengan niat supaya saya kenyang ” .

Demikianlah, melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh banyak ulama yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-lain.

Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya.

Lihat Majmu’ Al-Fatawa 18/263-264 dan 22/238, Syarhul ‘Umdah 2/290-291 karya Ibnu Taimiyyah, Zadul Ma’ad 1/201 karya Ibnul Qayyim dan Qawa’id Wa Fawaid Minal ‘Arbain An-Nawawiyah hal 31-32.

7. Tidak Berniat Sejak Malam Hari

Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shahih,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Ghalil no. 914 karya Syaikh Al-Albany.

Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.

8. Menganggap Bahwa Puasa Orang yang Junub (Atau yang Semakna Dengannya) Tidak Sah Bila Bangun Setelah Terbitnya Fajar dan Belum Mandi

Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah orang yang junub secara umum, mencakup junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri, dan yang semakna dengannya adalah perempuan yang haidh atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah riwayat Bukhary-Muslim,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi kemudian beliau tidak buka dan tidak pula meng-qadha` (mengganti) puasanya.

9. Mengakhirkan Buka Puasa

Hal ini juga tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ

“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka.”

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menegaskan,

لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” Hadits hasan, dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra` 2/253 no. 2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhîd 20/23.

10. Menganggap Bahwa Muntah Membatalkan Puasa

Anggapan bahwa semua muntah merupakan hal yang membatalkan puasa adalah salah karena muntah itu ada dua macam:

  1. Muntah dengan sengaja. Ini hukumnya membatalkan puasa. Imam Al-Khaththaby, Ibnul Mundzir dan lain-lainnya menukil kesepakatan di kalangan ulama tentang hal tersebut, walaupun Ibnu Rusyd menukil bahwa Imam Thawus menyelisihi mereka.
  2. Muntah yang tidak disengaja. Ini hukumnya tidaklah membatalkan puasa, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Hal di atas berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihiwasallam) , beliau berkata,

مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنَ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ

“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya membayar qadha’ dan siapa yang dikuasai oleh muntahnya (muntah dengan tidak disengaja) maka tidak ada qadha’ atasnya.” Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa` no. 673, Imam Syafi’iy dalam Al-Umm 7/252, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 7551 dan Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 2/98 dengan sanad shahih di atas syarat Bukhary-Muslim.

Lihat Al Mughny 3/17-119, Al Majmu’ 6/319-320, Bidayatul Mujtahid 1/385 karya Ibnu Rusyd, Ma’alim As-Sunan 3/261 karya Al Khaththaby, ‘Aunul Ma’bud 7/6, Nailul Authar 4/204, Fathul Bary 4/174, Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/395-404 dan Al-Fath Ar-Rabbany 10/44-45.

11. Menganggap Bahwa Makan dan Minum Dalam Keadaan Lupa Membatalkan Puasa

Anggapan ini tidaklah benar, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa yang lupa bahwa ia dalam keadaan berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya (tidak berbuka), karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.”

Dari hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang berpuasa lalu makan dan minum dalam keadaan lupa maka tidaklah membatalkan puasanya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Lihat Al Majmu’ 6/324 karya Ibnu Qudamah, Syarh Muslim 8/35 karya Imam Nawawy, Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/457-462 karya Ibnu Taimiyah, Al-I’lam 5/203-204 karya Ibnul Mulaqqin, Fathul Bary 4/156-157 karya Ibnu Hajar, Zadul Ma’ad 2/59 karya Ibnul Qayyim dan Nailul Authar 4/206-207 karya Asy-Syaukany.

12. Menganggap Bahwa Bersuntik Membatalkan Puasa

Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, atau infus. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.

Lihat Fatawa Ramadhan 2/485-486.

13. Merasa Ragu Mencicipi Makanan

Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.

Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam ), yang lafazhnya,

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.” Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/304 no. 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no. 8042 dan disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shahîh -nya 4/132 ( Fathul Bary ) secara mu’allaq dengan shighah jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil 4/85-86.

Berkata Imam Ahmad, “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka tidak ada masalah baginya.” Lihat Al-Mughny 4/359.

Berkata Ibnu Aqaîl Al-Hambaly, “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan, tidaklah mengapa. Akan tetapi, bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, hal itu dapat membatalkan puasanya, dan bila tidak masuk, tidaklah membatalkan puasa.” Lihat Al-Mughny 4/359.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 108, “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.”

Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/479-481 bersama ta’liq-nya.

14. Meninggalkan Berkumur-Kumur dan Menghirup Air ke Dalam Hidung Ketika Berwudhu

Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqîth bin Saburah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allihi wa sallam bersabda,

وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no. 80, Ath-Thayalisy no. 1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27, Abu Daud no. 142, Tirmidzy no. 788, Ibnu Majah no. 407, An-Nasa`i no. 87 dan Al-Kubra no. 98, Ibnu Khuzaimah no. 150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1054, 1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248 dan 4/123, Al-Baihaqy 1/76, 4/261 dan 6/303, Ath-Thabarany 19/216 no. 483 dan dalam Al-Ausath no. 7446, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhîd 18/223, Ar-Ramahurmuzy dalam Al-Muhaddits Al-Fashil hal. 579, dan Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal. 209-210.

Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga di dalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama dengan berkumur-kumur.

Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Rabbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ 6/406 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.

15. Menganggap Bahwa Mandi dan Berenang atau Menyelam Dalam Air Membatalkan Puasa

Anggapan tersebut salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan puasa sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk ke dalam tenggorokannya.

Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357, “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan.”

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya ke dalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca: ada) dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari.”

Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.

Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla 6/225-226 karya Ibnu Hazm dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.

16. Menganggap Bahwa Menelan Ludah Membatalkan Puasa

Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya.

Berkata Ibnu Hazm, “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq.”

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317, “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ulama).”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473, “Dan Apa-apa yang terkumpul di mulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya ….”

Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.

Lihat Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.

17. Menganggap Bahwa Mencium Bau-Bauan yang Menyenangkan Membatalkan Puasa

Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 107, “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa.”

18. Menghabiskan Waktu dengan Perbuatan dan Perkataan Sia-Sia

Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya,

مَنْ لَمْ يَدْعُ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada hajat (pada amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”

Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya (semata), puasa itu adalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”

Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia, dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-sia.

Dan juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

إِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ سَابَّهُ فَلْيَقُلْ إِنَّيْ صَائِمٌ

“Apabila ada orang yang mencelanya, hendaklah ia berkata, Sesungguhnya saya ini berpuasa .’ .”

19. Menyibukkan Diri dengan Pekerjaan Rumah Tangga di Akhir Bulan Ramadhan

Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga, sehingga melalaikannya dari ibadah pada akhir bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah hal yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang seharusnya, pada sepuluh hari terakhir, kita lebih menjaga diri dengan memperbanyak ibadah.

20. Membayar Fidyah Sebelum Meninggalkan Puasa

Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa, seperti wanita yang sedang hamil enam bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu membayar fidyah 30 hari sekaligus saat sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan, tentunya adalah perkara yang salah, karena kewajiban membayar fidyah dibebankan kepada seseorang apabila ia telah meninggalkan puasa, sedangkan ia belum meninggalkan puasa di awal Ramadhan, sehingga belum wajib baginya membayar fidyah.

21. Menganggap Bahwa Darah yang Keluar dari Dalam Mulut Dapat Membatalkan Puasa

Darah yang keluar dari dalam mulut, selama tidak sampai ketenggorokan (tidak tertelan), maka tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 2/214, “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dalam permasalahan ini, yakni darah yang keluar dari dalam mulut, selama tidak sampai ketenggorokan, maka tidak membatalkan puasa.”

Hal ini disebutkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/477.

Seandainya ada khilaf ‘perbedaan pendapat’ dalam masalah ini, maka pendapat yang kuat yakni tidak membatalkan puasa. Adapun kalau darah itu keluar dari dalam mulut kemudian ditelan dengan sengaja, maka hal ini dapat membatalkan puasa, ini sebagaimana keumuman nash-nash yang ada.

Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan para ulama di zaman sekarang.

Lihat Syarhul ‘Umdah 9/477, Fatawa Ramadhan 2/460, Syarhul Mumti’ 6/429.

Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzî ‘Ilmin ‘Alîm .

Mengenal Imam al-Bukhary

Tinggalkan komentar

Muhammad Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya terilham/menghafal hadits ketika masih dalam asuhan belajar.” Lalu saya bertanya, “Umur berapakah anda pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang.” (Riwayat al-Farbari dari Muhammad Ibnu Abi Hatim, seorang juru tulis al-Imam al-Bukhari).

Suatu ketika al-Imam al-Bukhari tiba di Baghdad. Kehadiran beliau didengar oleh para ahlul hadits negeri itu. Maka, berkumpullah mereka untuk menguji kehebatan hafalan beliau tentang hadits.

Syahdan para ulama tersebut sengaja mengumpulkan seratus buah hadits. Susunan, urutan dan letak matan serta sanad seratus hadits tersebut sengaja dibolak-balik. Matan dari sebuah sanad diletakkan untuk sanad lain, sementara suatu sanad dari sebuah matan diletakkan untuk matan lain dan begitulah seterusnya. Seratus buah hadits itu dibagikan kepada sepuluh orang tim penguji, hingga masing-masing mendapat bagian sepuluh buah hadits.

Maka tibalah ketetapan hari yang telah disepakati. Berbondong-bondonglah para ulama dan tim penguji itu, serta para ulama dari Khurasan dan negeri-negeri lain serta penduduk Baghdad menuju tempat yang telah ditentukan.

Ketika suasana majlis telah menjadi tenang, salah seorang dari kesepuluh tim penguji mulai memberikan ujiannya. Beliau membacakan sebuah hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya kepada al-Imam al-Bukhari. Ketika ditanyakan kepada beliau, al Imam al-Bukhari menjawab, “Saya tidak kenal hadits itu.” Demikian seterusnya satu persatu dari kesepuluh hadits penguji pertama itu dibacakan, dan al-Imam al-Bukhari selalu menjawab, “Saya tidak kenal hadits itu.”

Beberapa ulama yang hadir saling berpandangan seraya bergumam, “Orang ini berarti faham.” Akan tetapi ada di kalangan mereka yang tidak mengerti, hingga menyimpulkan bahwa al-Imam al-Bukhari terbatas pengetahuannya dan lemah hafalannya.

Orang kedua maju. Beliau juga melontarkan sebuah hadits yang telah dibolak-balik sanad dan matannya, yang kemudian dijawab pula, “Saya tidak kenal hadits itu”. Begitulah, orang kedua ini pun membacakan sepuluh hadits yang menjadi bagiannya, dan seluruhnya dijawab beliau, “Saya tidak kenal hadist itu.”
Begitulah selanjutnya orang ketiga, keempat, kelima hingga sampai orang kesepuluh, semuanya membawakan masing-masing sepuluh hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya. Dan al-Imam al-Bukhari memberikan jawaban tidak lebih daripada kata-kata, “Saya tidak kenal hadits itu.”

Setelah semuanya selesai menguji, beliau kemudian menghadap orang pertama seraya berkata, “Hadits yang pertama anda katakan begini, padahal yang benar adalah begini, lalu hadits anda yang kedua anda katakan begini padahal yang benar seperti ini. Begitulah seterusnya hingga hadits kesepuluh disebutkan oleh beliau kesalahan letak sanad serta matannya, dan kemudian dibetulkannya kesalahan itu hingga semua sanad dan matannya menjadi benar kedudukannya.

Demikian pula seterusnya yang dilakukan oleh al-Bukhari kepada para penguji berikutnya hingga sampai kepada penguji kesepuluh. Maka, orang-orang pun lantas mengakui serta menyatakan kehebatan hafalan serta kelebihan beliau. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Yang hebat bukanlah kemampuan al-Bukhari dalam mengembalikan kedudukan hadits-hadits yang salah, sebab beliau memang hafal, tetapi yang hebat justru hafalnya beliau terhadap kesalahan yang dilakukan oleh para penguji tersebut secara berurutan satu persatu hanya dengan sekali mendengar.”

Siapakah al-Imam al-Bukhari

Beliau adalah Abu Abdillah, bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi. Kakek moyang Bardizbah (begitulah cara pengucapannya menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani) adalah orang asli Persia. Bardizbah, menurut penduduk Bukhara berarti petani. Sedangkan kakek buyutnya, al-Mughirah bin Bardizbah, masuk Islaam di tangan al-Yaman al-Ja’fi ketika beliau datang di Bukhara. Selanjutnya nama al-Mughirah dinisbatkan (disandarkan) kepada al-Ja’fi sebagai tanda wala’ kepadanya, yakni dalam rangka mempraktekkan pendapat yang mengatakan, bahwa seseorang yang masuk Islam, maka wala’nya kepada orang yang mengislamkannya.

Adapun mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Kami tidak mengetahui (menemukan) sedikit pun tentang kabar beritanya.” Sedangkan tentang ayahnya, Ismail bin Ibrahim, Ibnu Hibban telah menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang tsiqah/terpercaya) dan beliau mengatakan, “Ismail bin Ibrahim, ayahnya al-Bukhari, mengambil riwayat (hadits) dari Hammad bin Zaid dan Malik. Dan riwayat Ismail diambil oleh ulama-ulama Irak.” Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga telah menyebutkan riwayat hidup ismail ini di dalam Tahdzibut Tahdzib. Ismail bin Ibrahim wafat ketika Muhammad (al-Bukhari) masih kecil.

Kelahiran Dan Wafatnya

Dilahirkan di Bukhara, sesudah shalat Jum’at pada tanggal 13 Syawal 194 H. Beliau dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang ilmiah, tenang, suci dan bersih dari barang-barang haram. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim, ketika wafat seperti yang diceritakan oleh Muhammad bin Abi Hatim, juru tulis al-Bukhari, bahwa aku pernah mendengar Muhammad bin Kharasy mengatakan, “Aku mendengar bahwa Ahid Hafs berkata, “Aku masuk menjenguk Ismail, bapaknya Abu Abdillah (al-Bukhari) ketika beliau menjelang wafat, beliau berkata, “Aku tidak mengenal dari hartaku barang satu dirham pun yang haram dan tidak pula satu dirham pun yang sybhat.”

Al-Bukhari wafat di Khartank sebuah desa di negeri Samarkhand, malam Sabtu sesudah shalat Isya’, bertepatan dengan malam Iedul fitri, tahun 256 H dan dikuburkan pada hari Iedul Fitri sesudah shalat Zhuhur. Beliau wafat dalam usia 62 tahun kurang 13 hari dengan meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah.

Pertumbuhan Dan Perkembangannya

Ketika ayahnya wafat, beliau masih kecil, sehingga beliau besar dan dibesarkan dalam asuhan ibunya. Beliau mencari ilmu ketika masih kecil dan pernah menceritakan tentang dirinya seperti disebutkan oleh al-Farbari dari Muhammad bin Abi Hatim. Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Aku pernah mendengar al-Bukhari mengatakan, “Aku diilhami untuk menghafal hadits ketika masih dalam asuhan mencari ilmu.” Lalu aku bertanya, “Berapa umur anda pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang… dan seterusnya hingga perkataan beliau, “Ketika aku menginjak umur enam belas tahun, aku telah hafal kitab-kitab karya Ibnul Mubarak dan Wakil. Dan aku pun tahu pernyataan mereka tentang Ash-hab (Ahlu) ra’yu”. Beliau berkata lagi, “Kemudian aku berangkat haji bersama ibuku dan saudaraku, setelah menginjak usia delapan belas tahun, aku telah menyusun kitab tentang sahabat dan tabi’in. Kemudian menyusun kitab tarikh di Madinah di samping kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika malam terang bulan.” Beliau melanjutkan perkataannya, “Dan setiap kali ada nama dalam at-Tarikh tersebut, pasti aku mempunyai kisah tersendiri tentangnya, tetapi aku tidak menyukai jika kitabku terlalu panjang.”

Semenjak kecil beliau sibuk menggali ilmu dan mendengarkan hadits dari berbagai negeri, seperti di negerinya sendiri. Dan beliau telah beberapa kali mengunjungi Baghdad, hingga penduduk di sana mengakui kelebihannya dan penguasaannya terhadap ilmu riwayah dan dirayah.

Begitulah, singkatnya beliau telah mengunjungi berbagai kota di Irak dalam rangka mencari ilmu hadits dari tokoh-tokoh negeri tersebut, misalnya Bashrah, Balkh, Kufah dan lain-lain. Beliau telah mendengarkan dan menggali hadits dari sejumlah banyak tokoh pembawa hadits. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Abi Hatim, bahwasanya beliau berkata, “Aku tidak pernah menulis melainkan dari orang-orang yang mengatakan bahwa al-Iman adalah ucapan dan tindakan.”

Jumlah Hadits Yang Dihafal

Muhammad bin Hamdawaih mengatakan, “Aku mendengar al-Bukhari berkata, bahwa aku hafal seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits tidak shahih.”

Kitab-Kitab Yang Disusun

Yang paling pokok adalah kitab al-Jamiush shahih (Shahihul Bukhari) yaitu kitab hadits tershahih diantara kitab hadits lainnya. Selain itu beliau menyusun juga ktiab al-Adabul Mufrad, Raf’ul Yadain fish Shalah, al-Qira’ah khalfal Iman, Birrul Walidain, at-Tarikh ash-Shagir, Khalqu Af’aalil ‘Ibaad, adl-Dlu’afa (hadits-hadits lemah), al-Jaami’ al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, Kitabul Asyribah, Kitabul Hibab, Asaami ash-Shahabah (Nama-nama para shahabat) dan lain sebagainya.

Contoh Kekaguman Orang Terhadap Al-Bukhari

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah, merupakan barometer bagi guru-gurunya dan manusia yang tahu dan hidup pada zamannya maupun sesudahnya. al-Imam al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah menyebutkan secara khusus tentang pujian dan jasa-jasa beliau dalam kitabnya masing-masing. Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul huffaazh dan Ibnu Hajar dalam Tahdzibut Tahdzib.

Berikut ini beberapa contoh pujian dan kekaguman mereka. Muhammad bin Abi Hatim mengatakan, bahwa aku mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikundi berkata, “Seandainya aku mampu menambahkan umur Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) dengan umurku, niscaya aku lakukan sebab kematianku hanyalah kematian seorang sedangkan kematiannya berarti lenyapnya ilmu.”

Raja’ bin Raja’ mengatakan, “Dia, yakni al-Bukhari, merupakan satu ayat di antara ayat-ayat Allah yang berjalan di atas permukaan bumi.”

Abu Abdullah al-Hakim dalam Tarikh Naisabur berkata, “Dia adalah Imam Ahlul hadits, tidak ada seorang pun di antara Ahlul Naql yang mengingkarinya.”

Shahihul Jami’ Atau Shahih Bukhari

Seluruh hadits yang termuat di dalamnya adalah hadits-hadits shahih yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan semua Mu’allaqaat dalam Shahih al-Bukhari dinyatakan shahih oleh para ulama Ahlul hadits. Adapun contoh pernyataan ulama tentang Shahih al-Bukhari seperti dikatakan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wan Nihaayah, “Para ulama telah bersepakat menerimanya (yakni Shahihul Bukhari) dan menerima keshahihan apa-apa yang ada di dalamnya, demikian pula seluruh ahlul Islam.”

Jadi di samping Shahih Muslim, Shahih al-Bukhari adalah kitab tershahih nomor dua setelah al-Qur’an sebagaimana disebutkan dan disepakati oleh para ulama, di antaranya oleh as-Subakti.

Terusirnya Imam Al-Bukhari Dari Bukhara

Ghonjar mengatakan dalam kitab Tarikhnya, “Aku mendengar Ahmad bin Muhammad bin Umar berkata, “Aku mendengar Bakar bin Munir mengatakan, “Amir Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhail, amir penguasa Bukhara, mengirim utusan kepada Muhammad bin Ismail, yang isinya, “Bawalah padaku kitab Jaami’ush Shahih dan at-Tarikh supaya aku bisa mendengar dari kamu.” Maka, berkatalah al-Bukhari kepada utusan tersebut, “Katakanlah kepadanya bahwa sesungguhnya aku tidak akan merendahkan ilmu dan aku tidak akan membawa ilmuku itu ke hadapan pintu para sultan. Apabila dia butuh (jika ilmu itu dikehendaki), maka hendaknya dia datang kepadaku di masjidku atau di rumahku. Kalau hal ini tidak menyenangkan wahai sultan, maka laranglah aku untuk mengadakan majlis ilmu, supaya pada hari kiamat aku punya alasan di hadapan Allah bahwa aku tidak menyembunyikan ilmu.” Ghonjar mengatakan, “Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis di antara keduanya.”

Al-Hakim berkata, “Aku mendengar Muhammad bin al-‘Abbas adh-Dhobby mengatakan, “Aku mendengar Abu Bakar bin Abu Amr berkata, “Perginya Abu Abdillah al-Bukhari dari negeri Bukhara disebabkan Khalid bin Ahmad Khalifah bin Thahir meminta beliau untuk hadir di rumahnya supaya membacakan kitab at-Tarikh dan al-Jaami’ush Shahih kepada anak-anaknya, tapi beliau menolak. Beliau katakan, “Aku tidak mempunyai waktu jika hanya orang-orang khusus yang mendengarkannya (mendengarkan ilmuku, pen). Maka Khalid bin Ahmad meminta tolong kepada Harits bin Abi al-Warqa` dan lainnya dari penduduk Bukhara untuk bicara mempermasalahkan madzhabnya. Akhirnya Khalid bin Ahmad mengusir beliau dari Bukhara.

Demikianlah sekelumit tentang Imam Bukhari, beliau juga pernah difitnah sebagai orang yang mengatakan, bahwa bacaanku terhadap al-Qur’an adalah makhluk. Padahal beliau tidak mengatakan demikian dan bahkan secara tegas beliau membantah bahwa orang yang membawa berita tersebut adalah pendusta. Beliau bahkan mengatakan, “Bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk, sedangkan perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk.” (lihat Hadyu as-Sari Muqadimah Fathul Bari bagian akhir halaman 490-491). Wallahu a’lam.

(SUMBER: Majalah as-Sunnah, no.02/Th.I, Jumada Tsani-Rajab 1413 H/Desember 1992 M, diterjemahkan dan disusun oleh Ahmas Faiz dengan sedikit perubahan)

Older Entries